Jakarta Trip #1 : Perjalanan Ta’aruf

-->

Sejatinya, hakikat dari sebuah perjalanan adalah ta’aruf. Saling mengenal antar manusia. Bahwa kita bersaudara meski terpisah jarak, ruang, dan waktu. Meskipun kita terbagi menjadi suku, bahasa, warna kulit yang berbeda, perasaan sebagai sesama saudara muslim tetap melekat.
Dengan jalan-jalan, kamu akan merasakan indahnya pesan dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 agar taaruf (لتعارفوا) saling mengenal kepada siapapun, dan bukan saling membanggakan keturunan, karena kebanggaan itu hanya dinilai dari ketakwaannya kepada Allah.
Agaknya ada yang lebih menarik pada Jakarta Tripku kali, lebih dari sekedar destinasi apa yang dikunjungi, tapi dengan siapa kamu kesana. Pertanyaan yang lumayan banyak diajukan teman-teman yang melihat story instagramku, dalam rangka apa ke Jakarta dan dengan siapa aja itu?
Oke, aku jawab singkat, dalam rangka jalan-jalan aja, dengan temen-temen alumni MTsN Ponorogo.
Tapi nggak semuanya sih temen MTs, ada juga yang baru sok kenal, dan akhirnya akrab. Di sini aku sedikit menceritakan orang-orang di dalam trip kali ini.

Nabila Aprliani, panggilannya nabil, abil, atau neng. Sebelumnya aku tidaklah ada hubungan dengan perempuan ini, baik alumni, teman organisasi atau yang lain. Tapi Allah sangatlah baik mempertemukanku dengan perempuan yang radikal pemikirannya ini. Dari ceritanya, ia tidaklah menempuh pendidikan formal setelah menempuh pendidikan di SMA Muhammadiyah Ponorogo. Kata ibunya, dia juga pernah merasakan mondok di Bogor tapi sekarang sudah tidak.

Memang benar kata Pak Kartono, dosen mata kuliah kewirausahaan semester ini, kuliah tidak hanya belajar di kelas. Bahkan pelajaran dari luar kelas sangatlah banyak dan menginspirasi, dengan tetap butuh keberanian untuk explore. Di berasal dari keluarga yang tinggal daerah Kampung Duri di perkampungan pinggir rel kereta. Tapi, hebatnya dia mampu untuk bercadar walaupun itu terasa sangat asing di kampungnya tersebut. Ini pertama kalinya aku bercengkrama cukup lama dengan perempuan bercadar.
Sekarang dia menempuh pendidikan non formal di Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), maka tak heran ia mempunyai pemahaman yang luas terhadap Islam, bisa dilihat dari medsosnya (@nabilalian_) dan di rumahnya banyak buku membahas tentang Islam. Allah menakdirkan ia untuk tidak merasakan pendidikan formal, tapi ia mampu mengisi harinya dengan kegiatan layaknya mahasiswa yang sedang kuliah. Mulai dari kepanitiaan Hijrah Fest, aksi galang dana, dan liqo’. Selama bareng sih, dia termasuk orang yang gak kuper-kuper amat, enak diajak ngobrol, bercanda, dan gak jelas juga. 
-->

Irvani Meda (@irvanimeda), panggilannya Fani. Dia teman sekelas waktu di MTs dulu. Pertemuan pertama kali yang terjadi di tanah perantauannya. Saat ada kegiatan gathering alumni, ia selalu menjadi yang paling dermawan kepada teman-temannya, maka dari itu aku sering memanggilnya Pak Bos, Aamiin. Ada cerita menarik saat pertemuanku dengannya kemarin. Dia bercerita banyak hal.
Pembahasan ini menurutku menjadi yang paling menarik terhadap hikmah dari tripku kali ini. Dia berkata, “Him, aku ning Jakarta iki wes merasa kecukupan banget loh, kos enak, makan enak, hiburan yo akeh, tapi aku sek merasa kurang yo”. Secara di dalam soal gaji memang dibilang sudah lumayan besar, sudah cukup ditabung.
Saat ini ia bekerja di Astra Indonesia bagian operator produksi. Kadang ia merasa iri melihat teman-temannya yang mahasiswa seenaknya jalan-jalan (kayak aku). Karena memang dia seorang pekerja, jadi jadwal libur sudah terjadwal. Dia merasa ada yang kurang padahal udah kecukupan secara materi. Maka aku jawab, “Puaskan hatimu fan, jangan cuma nafsumu”, dalam asumsiku, banyakin lagi ibadahmu. Mungkin tidak mudah untuk seorang pekerja di Jakarta, dari ceritanya ia bekerja mulai jam 9 pagi sampai sore, malamnya pun masih ada nglembur. Bisa dibayangkan ia kembali hanya untuk makan, tidur, dan sholat. Dalam hatinya mungkin masih kurang tersentuh terhadap kesejukan ibadah, enaknya kajian, dll.

Teman ketiga yang kutemui di Jakarta adalah sesama alumni Pesantren Tebuireng, nama Abda Ilma (@rodianaabda), aku manggilnya mbak il, buka karena lebih tua, cuma lebih menghormati aja, masa iya tak panggil dek Ilma. Pertemuanku terjadi di UIN Syarif Hidayatullah. Dia jurusan S1 Biologi, maklum mungkin praktikum, jadi agak lama nunggunya untuk ketemu. Di pertemuan kali ini, sesame temen pondok pasti yang dibahas yang nostalgia anak-anak di pondok dulu.

Dan kitapun membuat video call bersama Faizul Iqbal (@_faiz.malik), teman plek pondok yang ada di Malang, dan kondisipun berubah dari hening menuju tawa yang penuh kegejean. Seketika, perempuan-perempuan temen trip tadi merasa tidak nyaman dengan kegejeanku.
Hikmahnya, semua teman menghadirkan cerita yang berbeda-beda. Maka, berusahalah untuk berteman kepada siapapun itu, dari yang liberal sampai radikal, dari yang GJ sampai paling terstruktur, dari yang nggak serius sampai ambisius. Perbandingannya gak sepadan ya, hehe.
Pokoknya, sebaik-baiknya temen, pasti ada buruknya, dan sejelek-jeleknya temen, pasti ada bagusnya. Maka, ambil baiknya.
Semoga bermanfaat
Lanjut ke hikmah selanjutnya.

Comments

Popular Posts