Tradisi Potong Jari Di Papua
Puncak Jaya di Papua |
Salah tradisi yang ada di Cendrawasih adalah Potong Jari. Tradisi ini terdengar sangat ekstrim. Kesedihan saat telah ditinggal pergi oleh orang yang dicintai dan kehilangan salah satu anggota keluarga atau kerabat dekat seperti; suami,istri, ayah, ibu, anak dan adik yang meninggal dunia terasa sangat perih. Berlinangan air mata dan perasaan kehilangan begitu mendalam. Terkadang butuh waktu yang begitu lama untuk mengembalikan kembali perasaan sakit kehilangan dan tak jarang masih membekas dihati.
Lain halnya dengan masyarakat pegunungan tengah Papua yang melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarganya yang meninggal tidak hanya dengan menangis saja. Melainkan ada tradisi yang diwajibkan saat ada anggota keluarga Tradisi yang diwajibkan adalah tradisi potong jari.
Walaupun begitu, tradisi ini tetap dilakukan oleh kaum ibu, tetapi tidak menutup kemungkinan pemotongan akan dilakukan oleh anggota orang tua keluarga baik laki-laki atau perempuan. Tradisi ini dilakukan agar tidak akan terjadi malapetaka lagi kepada anggota keluarga lain. Bisa diartikan jari adalah simbol kerukunan, kebersatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Walaupun dalam penamaan jari yang ada ditangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga yaitu Ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbedaan setiap bentuk dan panjang memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Satu sama lain saling melengkapi sebagai suatu harmonisasi hidup dan kehidupan. Jika salah satu hilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.
Ibu di Papua yang di potong jarinya |
Alasan lainya adalah "Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik" atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu fam/marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya (Hisage, Yulianus Joli, 07:2005). Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Hanya luka dan darah yang tersisa. Pedih-perih yang meliput suasana. Luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga baru sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan papua memotong jari saat ada keluarga yang meninggal dunia.
Tradisi ini ditayangkan oleh film " Denias, Senandung Di Atas Awan ". Film yang di sutradarai oleh John de Ratau ini diproduksi tahun 2006, dibintangi antara lain oleh Albert Thom Joshua Fakdawer, Ari Sihasale, Nia Zulkarnaen dan Marcella Zalianty.
Poster Film Denias senandung di atas awan |
Film ini menceritakan tentang perjuangan seorang anak suku pedalaman Papua yang bernama Denias untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Seluruh setting lokasi dilakukan di pulau Cendrawasih ini. Cerita dalam film ini merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang anak Papua yang bernama Janias.
Sebuah film yang harus ditonton oleh mereka yang mengaku peduli dengan dunia pendidikan di Indonesia. Sebuah film yang dapat membuka pandangan kita tentang betapa pendidikan yang layak di negeri ini masih sangat mahal, masih sangat rumit dan masih banyak terjadi diskriminasi-diskriminasi yang tidak masuk akal.
Dalam film ini juga dapat kita lihat keindahan provinsi Papua yang berhasil direkam dengan begitu indahnya.
Denias (Albert Thom Joshua Fakdawer) kehilangan ibunya saat rumahnya ditinggal Denias berburu di hutan bersama temannnya. Sang ayah (Michael Jakarimelina) harus melakukan potong jari agar terjadi musibah kepada anggota keluarga lain.
Tradisi ini masih ada tetapi keberadaannya jarang ditemui mungkin karena agama yang datang di Pulau Cendrawasih ini.
sumber referensi
Comments
Post a Comment